Cybercampaign Oposisi dalam Pemilu Malaysia 2008: Internet sebagai Platform Otonom Kampanye Politik

Abstract
Internet as an aspect of social change has been a new media sphere where political autonomy is constructed in networking society. This phenomenon can be observed in Malaysian general election, 2008, in which the Web 2.0 applications in the Internet was used by the opposition politicians to launch a cybercampaign against the ruling Barisan Nasional coalition. This cybercampaign led to a phenomenon of electronic democracy (e-democracy) by the opposition with Malaysian public, which accounted to the powermaking process of the opposition. The political power generated had led to the significant winnings of the opposition in five Malaysian states, although the national overall results were still in favor of the Barisan Nasional. This phenomenon has generated the writer’s curiosity over the use of the Internet as an autonomous platform of political campaign by the Malaysian opposition. This paper attempts to analyze how the cybercampaign launched by the opposition in Malaysian general election, 2008, led them to a better result compared with previous elections.
Keywords
Web 2.0; communication power; electronic democracy; cybercampaign; Malaysian general election 2008

PERMASALAHAN PENELITIAN

Latar Belakang
Manuel Castells, sebagai salah satu ilmuwan sosial ternama di dunia, telah menjelaskan Internet dari aspek perubahan sosial. Salah satu poin fokus penelitiannya tentang Internet sebagai struktur kehidupan manusia adalah Internet sebagai lingkungan media baru tempat otonomi dikonstruksikan dalam masyarakat berjaringan. Konstruksi otonomi dalam Internet yang diungkapkan oleh Castells ini dapat kita lihat dalam fenomena cybercampaign (kampanye Internet)[1]. Sebagai studi kasus, sangat menarik untuk mencermati Pemilihan Umum (Pemilu) Malaysia 2008, di mana terjadi penurunan raihan koalisi Barisan Nasional (BN). Walaupun BN yang dipimpin Perdana Menteri Abdullah Badawi memenangi pemilu, raihan BN pada pemilu kali ini mengalami penurunan. Pada pemilu 2004, BN mendapat kemenangan meyakinkan setelah mengamankan 199 dari 219 kursi yang ada, sementara kini BN hanya mendapat 127 kursi dari 222 kursi yang tersedia. BN pun secara mengejutkan kalah dari kubu oposisi di daerah Penang.[2] Nurul Izzah, putri sulung pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim, pun berhasil memenangi pemilu di daerah pemilihan Lembah Pantai Kuala Lumpur.[3]
Dalam kampanye dan strategi pemenangan Pemilu Malaysia ini, dapat dilihat bahwa kubu oposisi melakukan cybercampaign, yang tak terlalu tampak pada kampanye BN. Partai-partai oposisi utama Malaysia, terdiri atas Parti Keadilan Rakyat (PKR), Democratic Action Party (DAP), dan Pan-Malaysian Islamic Party (PAS), Parti Sosialis Malaysia (PSM), dan United Pasok Nunukragang National Organisation (PASOK) bergabung di bawah slogan Barisan Rakyat dan melakukan kampanye di berbagai cyberspace dan media baru, menggunakan berbagai teknologi baru seperti blog, short message service (SMS), dan YouTube.[4] Dalam menggalang dana pun, kubu oposisi berhasil menarik perhatian publik melalui berbagai website dan blog bagi para pendukung untuk menyumbangkan dana melalui kartu kredit dan transfer bank untuk membantu mereka mencetak poster-poster kampanye dan mengadakan berbagai forum publik.

Pokok Permasalahan
Makalah ini berusaha memahami berbagai aspek cybercampaign dalam kampanye dan strategi kubu oposisi dalam Pemilu Malaysia 2008. Pertanyaan yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah, “Bagaimana cybercampaign yang dilancarkan kubu oposisi dalam Pemilu Malaysia 2008 dapat membawa mereka menuju hasil yang lebih baik daripada pemilu sebelumnya?”

Tujuan Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan analisis mengenai:
1. Cybercampaign yang dilancarkan oposisi dalam Pemilu Malaysia 2008;
2. Bentuk-bentuk aplikasi Web 2.0 dalam cybercampaign oposisi Malaysia;
3. Bentuk-bentuk e-democracy komunikatif antara oposisi Malaysia dengan publik;
4. Proses pembuatan power politik oposisi melalui jaringan komunikasi Internet; serta
5. Potensi hambatan terhadap cybercampaign oposisi.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari pembuatan makalah ini adalah untuk:
1. Memberikan pemahaman tentang Web 2.0 dan aplikasinya dalam politik khususnya dalam konteks cybercampaign; serta
2. Mengonfirmasi/mendiskonfirmasi teori Communication Power Manuel Castells.

KERANGKA TEORITIK

Definisi Konsep-Konsep Kunci
Web 2.0
Istilah “Web 2.0” terkait dengan aplikasi web yang memfasilitasi pembagian informasi interaktif, interoperabilitas, rancangan user-sentris,[5] dan kolaborasi pada World Wide Web. Suatu Web 2.0 memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi satu sama lain sebagai kontributor terhadap konten website, berbeda dengan website di mana pengguna terbatas pada melihat secara pasif informasi yang disediakan oleh website tersebut. Contoh-contoh Web 2.0 termasuk komunitas berbasis web, layanan hosting, aplikasi web, situs-situs jejaring sosial, situs-situs video-sharing, wiki, blog, mashup, dan folksonomy. Istilah ini dipopulerkan oleh Tim O’Reilly melalui konferensi Media Web 2.0 O’Reilly pada 2004.[6] Istilah Web 2.0 tak merujuk kepada perbaruan spesifikasi teknis, namun perubahan kumulatif dalam cara-cara pada pengembang software dan user akhir menggunakan Web.

Teori Communication Power Manuel Castells (2009)
Dalam Communication Power, Manuel Castells (2009) meneliti mengapa, bagaimana, dan oleh siapa hubungan power terknostruksi dan digunakan melalui manajemen proses-proses komunikasi, dan bagaimana berbagai hubungan power ini dapat diubah oleh aktor-aktor sosial yang menghendaki perubahan sosial dengan memengaruhi pikiran publik. Castells menghadirkan tiga argumen sentral bahwa:[7]
1. Power bersifat multidimensi dan terkonstruksi di sekeliling jaringan-jaringan yang terpogram di tiap-tiap domain aktivitas manusia menurut kepentingan dan nilai-nilai yang dipegang aktor-aktor yang terberdayakan. Namun seluruh jaringan power menggunakan power mereka dengan memengaruhi pikiran manusia melalui berbagai jaringan multimedia komunikasi massa. Jadi, jaringan-jaringan komunikasi adalah jaringan fundamental pembuatan power dalam masyarakat.
2. Jaringan-jaringan power dalam berbagai domain aktivitas manusia terjaringkan di sekeliling jaringan-jaringan tersebut dan tak bergabung. Namun, jaringan-jaringan tersebut ikut serta dalam berbagai strategi kemitraan dan kompetisi, mempraktikkan kerjasama dan kompetisi secara simultan dengan membentuk jaringan-jaringan ad hoc di sekeliling proyek-proyek khusus dan dengan berganti mitra tergantung kepentingan pada tiap-tiap konteks dan tiap-tiap momen waktu.
3. Jaringan power yang terkonstruksi di sekeliling negara dan sistem politik memainkan peran fundamental dalam keseluruhan jaringan power. Hal ini disebabkan operasi sistem yang stabil, dan reproduksi hubungan power dalam seluruh jaringan, pada akhirnya bergantung pada fungsi-fungsi koordinasi dan regulasi negara dan sistem politik. Hal ini juga karena melalui negaralah, berbagai bentuk penggunaan power dalam berbagai lingkungan sosial berhubungan dengan monopoli kekerasan sebagai kapasitas untuk memaksakan power sebagai usaha terakhir.

Electronic Democracy
Dalam The Internet and Democratic Citizenship, Stephen Coleman dan Jay G. Bumler (2009) membahas berbagai kegelisahan dan optimisme tentang demokrasi dan mengaitkannya dengan Internet. Defisit deliberatif demokrasi adalah bahwa publik takkan mendukung keputusan kecuali mereka merasa telah diajak berkonsultasi dengan layak dan dilibatkan dalam proses pembuatannya.[8] Namun, terdapat krisis komunikasi publik, sehingga diperlukan transformasi dari partisipasi tak langsung menjadi partisipasi langsung. Muncullah konsep e-democracy, yang merupakan aransemen komunikatif antara pemerintah dengan publik melalui berbagai proyek online inovatif, seperti konsultasi parlementer online yang diluncurkan di Inggris pada 1998 dan pembentukan juru kampanye komunitas (Campaign Creator).[9] Menurut Angelika Füting dan Marco Bräuer, terdapat lima jenis komunikasi politik individual dalam e-democracy sebagai berikut:[10]

Jenis Ukuran Deskripsi/Sifat Nama
1 46% Penghindaran umum terhadap komunikasi dan aktivitas politik Passive mainstreamer (mainstreamer pasif)
2 14% Komunikasi politik atau keanggotaan serikat pekerja yang terbatas, partisipasi memberikan suara Egocentric lobbyist (pelobi egosentris)
3 15% Komunikasi politik multisegi/penggunaan Internet yang rendah, keanggotaan dalam kelompok aksi lokal atau kelompok hak-hak hewan Traditional activist (aktivis tradisional)
4 7% Komunikasi politik yang komprehensif dan multisegi, keanggotaan dalam partai politik, donasi bagi organisasi politik Involved extrovert (ekstrover yang terlibat)
5 18% Komunikasi politik khusus/ketertarikan tinggi terhadap komunikasi Internet; penghindaran terhadap “aktivitas luar” yang bersifat politis Lazy modernist (modernis yang malas)

Menurut Füting dan Bräuer, hanya lazy modernist yang menggunakan Internet untuk komunikasi politiknya hingga tingkat yang relevan, dan menyebut lazy modernist sebagai “golongan perintis online politik” (political online avant-garde). Füting dan Bräuer menyimpulkan bahwa akan terdapat difusi lebih jauh tawaran elektronik politik, seperti e-voting, e-petition, dialog-online, dalam Web 2.0, serta memprediksi bahwa di masa depan akan terjadi praktik multisegi kewarganegaraan digital dan konsepsi teoritis e-democracy lebih lanjut.[11]

Kajian Kepustakaan: Keterkaitan antara Politik dan Web 2.0
Telah terdapat berbagai kajian tentang keterkaitan antara politik dan Web 2.0. Pandangan yang lebih optimis diperlihatkan, misalnya, oleh Kostas Zafiropoulos dan Vasiliki Vrana (2008), yang mengkaji blogging politik di Yunani, dan menyimpulkan bahwa blogging politik di Yunani telah sesuai dengan karakteristik blogging politik, dan blog politik Yunani bertindak dalam suatu jaringan sosial blog, yang membentuk kelompok utama otoritas di mana diskusi politik terjadi. Blog-blog utama ini menyediakan opini dan sikap warga, yang dipertimbangkan oleh media. Afiliasi politik sebagian terefleksikan dalam formasi kelompok-kelompok utama blog, sehingga lebih mudah bagi warga untuk berkoordinasi dan menemukan perdebatan yang menarik.[12] Nicolas Desquinabo (2008) mengevaluasi pengaruh “rancangan institusional” forum-forum online selama pemilu presidensial Prancis 2007 pada pertimbangan warga, dan menyimpulkan bahwa forum-forum tersebut memberikan potensi pengaruh Internet pada kemungkinan “perselisihan deliberatif”, sehingga berbagai sistem institusional dan perlengkapan teknis dalam Internet mendorong perdebatan kontroversial terus-menerus, dan kerangka institusional diskusi online dengan kuat memengaruhi karakteristik mereka.[13] Zachary P. Devereaux (2008) meneliti peran uang, publisitas, satire video, pengawasan, dan rekrutmen ke dalam asosiasi politik terbuka dalam situs satire video Liberal Ontaria bernama Torytube.ca, dan menyimpulkan bahwa situs tesebut telah memainkan peran penting dalam kampanye modern dan mengonfirmasi bahwa platform Web 2.0 bertindak dalam kapasitas ideologis.[14] Brian J. Gaines dan Jeffery J. Mondak (2008) menganalisis situs Facebook untuk melihat tanda-tanda pengelompokan oleh para anggotanya menurut pandangan politik mereka, dan menyimpulkan bahwa para mahasiswa cenderung berkelompok secara ideologis dalam Facebook.[15]
Di lain pihak, terdapat juga berbagai pandangan yang lebih pesimis terhadap politik dan Web 2.0. Dylan Kissane (2008) mengkaji keterkaitan Web 2.0 milik ALP (Partai Buruh Australia), Kevin07.com.au, dalam mengumpulkan suara para pemilih muda dalam Pemilu Federal Australia 2007 dan menyimpulkan bahwa Kevin07.com.au tak terlalu berarti dalam perolehan dukungan dari golongan usia 18-29 yang meningkat karena berbagai keadaan spesifik pada pemilu tersebut, yaitu para pemilih muda yang lebih menyukai kandidat muda. Sehingga, langkah paling penting ALP sebenarnya adalah penunjukan Kevin Rudd yang lebih muda daripada Kim Beazley yang berpengalaman namun tak populer.[16] Darren G. Lilleker dan Nigel Jackson (2008) mengkaji bagaimana para elit politik di Inggris menggunakan aplikasi Web 2.0 dan menyimpulkan bahwa mereka cenderung menyesuaikan Web 2.0 terhadap kebutuhan mereka daripada mengubah modus operandi mereka untuk memenuhi norma-norma kultural Web 2.0. Mereka tak siap dan tak mampu mengadopsi Web 2.0 sehingga mengembangkan apa yang Lilleker dan Jackson sebut Web 1.5, yang mencakup unsur interaktif namun juga mencakup monolog satu arah pada saat yang sama.[17] Sarah Oates (2008) mengkaji bagaimana di Rusia Internet tak berhasil mengimbangi media tradisional yang bias, dan menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena tak ada mekanisme di Rusia agar informasi dapat menjadi kekuatan politik, dan Internet di Rusia tetap menjadi “kamerad” komunis sebagaimana di dunia media offline.[18]
Dapat dilihat bahwa Web 2.0 menyediakan tempat bagi diskusi politik yang kontroversial dan terus-menerus tanpa menimbulkan perselisihan fisik. Web 2.0 juga bertindak dalam kapasitas ideologis dan menjadi sarana pengelompokan pandangan politik. Namun, di berbagai kasus, Web 2.0 tak menjadi faktor utama yang dapat membawa kepada kemenangan politik. Diperlukan kesiapan dan kemampuan menggunakan Web 2.0 dengan optimal agar efek deliberatif Web 2.0 dapat benar-benar menjadi kekuatan politik.

Kajian Empirik: Kampanye Presidensial Barack Obama 2008
Contoh aktual dari konstruksi otonomi dalam masyarakat berjaringan yang memperlihatkan keterkaitan antara politik dan Web 2.0 adalah kampanye presidensial Barack Obama, yang diawali dengan pelibatan para pendukungnya di Internet selama pemilihan pertama. Ketika pendukungnya menggalang dana untuk berbagai alasan spesifik dan menyediakan laporan pembelanjaan dana tersebut, 62% donasi diberikan melalui Internet, dengan total US$ 605 juta. Banyak pula pengamat yang memandang kuatnya dukungan terhadap Obama di antara berbagai situs jejaring sosial, seperti MySpace dan Facebook.com,[19] serta menilai Obama sebagai kandidat yang paling terhubung dengan pemilih potensial melalui Internet.[20] Kampanye pertama Obama pun memperoleh publisitas dari berbagai video musik di Internet, seperti video “Obama Girl” berjudul I Got a Crush… on Obama, video Yes We Can,[21] dan video pidato Obama A More Perfect Union.[22]
Obama memang sukses menggunakan Internet untuk mengumpulkan pendukung dan memperkenalkan kebijakan-kebijakannya. Integrasi teknologi ke dalam proses organisasi lapangan merupakan keberhasilan kampanye Obama, yang membawa efisiensi Internet dalam mengorganisasi massa dalam cara yang terdistribusi dan terpercaya.[23] Penggunaan Internet oleh Obama mengincar target golongan usia 18-29, golongan usia yang paling bergantung pada media baru untuk memperoleh informasi politik tentang pemilihan umum. Manajer kampanye Obama memahami bahwa alasan para pemilih muda cenderung mengabaikan politisi adalah karena politisi cenderung mengabaikan isu-isu yang paling menyangkut para pemuda. Kampanye Obama akhirnya berhasil memperoleh reaksi positif dari para pemuda Amerika.
Melalui forum-forum dan website sosial seperti MySpace dan Facebook, Obama membangun hubungan dengan para pendukung dan calon pendukungnya. Ia membangun kualitas yang jujur dan face-to-face sehingga memberikan rasa jaminan dan kepercayaan kepada para pendukungnya, yang menginspirasi mereka untuk mengumpulkan para pendukung lain di komunitas lokal mereka. Para pendukung Obama juga membentuk komunitas nasional. Internet menyediakan sarana yang berguna dan efektif untuk itu, seperti sarana Neighbor-to-Neighbor dalam My.BarackObama.com, memungkinkan para pendukung mencapai jumlah yang besar dalam waktu singkat dalam komunitas mereka, yang pada gilirannya membawa kepada kampanye yang mengumpulkan lebih banyak lagi dukungan bagi Obama. Komunikasi online membawa para pendukung Obama terlibat dalam berbagai aktivitas sosial seperti pemberian tandatangan dan petisi door-to-door untuk dukungan bagi Obama, juga mendiskusikan opini mereka tentang kebijakan dan isu yang mereka dukung bersama Obama.[24]
Seluruh kebijakan Obama tersedia secara online, dan update dikirim ke pelanggan partai politiknya melalui email dan SMS, yang pada akhirnya membuat Obama menjadi kandidat dengan penggunaan teknologi paling cerdas dan modern, dan meningkatkan popularitasnya di antara para pemilih muda. Lebih lanjut, kampanye Obama juga diperkuat dengan terbatasnya penggunaan Internet oleh lawannya, John McCain. McCain tak memiliki organisasi seperti dalam kampanye Obama, juga tak mengeluarkan uang pada porsi kampanye ini. Pemilihan waktu yang tepat dan penggunaan kampanye online memberi Obama keunggulan signifikan atas McCain.[25]

Analisis Keterkaitan Antarkonsep
Kesimpulan dari kajian kepustakaan bahwa Web 2.0 dapat menjadi kekuatan politik diperlihatkan secara aktual dalam kampanye presidensial Obama. Obama berhasil melibatkan para pendukungnya di Internet, menggalang dana melalui Internet, dan menunjukkan dukungan terhadap Obama melalui Internet. Integrasi teknologi ke dalam proses organisasi lapangan merupakan keberhasilan kampanye Obama. Hal ini juga diperkuat dengan terbatasnya penggunaan Internet oleh lawannya, John McCain. Maka, proses translasi Web 2.0 menjadi kekuatan politik juga berada dalam analisis keunggulan kompetitif penggunaan Web 2.0 secara relatif dengan lawan politik.

DATA TEMUAN DAN ANALISIS

Kampanye Oposisi Malaysia di Cyberspace dalam Pemilu Malaysia 2008

Latar Belakang: Tekanan pada Media Mainstream
Penggunaan cyberspace oleh oposisi dalam kampanye dalam Pemilu Malaysia 2008 pada awalnya disebabkan penggelapan pada media mainstream. Banyak surat kabar dan stasiun televisi di Malaysia sebagian dimiliki oleh partai-partai dalam koalisi yang memimpin, dan media-media tersebut dinilai terlalu menyanjung cerita-cerita tentang pemerintah dan pencapaiannya. Outlet media yang dimiliki secara langsung oleh pemerintah Malaysia antara lain Bernama (Berita Nasional Malaysia), agen berita pemerintah Malaysia Sementara yang dimiliki oleh partai-partai dalam koalisi Barisan Nasional antara lain grup Media Prima, yang dimiliki oleh United Malays National Organisation. Media Prima adalah perusahaan induk empat saluran televisi dan dua saluran radio. Sementara itu, RTM (Radio Televisyen Malaysia), penyiar publik milik negara di Malaysia, mengoperasikan dua saluran televisi lokal dan 32 saluran radio nasional.
Terdapat sekitar 30 surat kabar dan tabloid yang diterbitkan dalam bahasa Melayu, Inggris, China, dan Tamil. Surat kabar terkemuka mencakup The Star, New Straits Times, theSun, Berita Harian, Utusan Malaysia, Sin Chew Jit Poh, dan Nanyang Siang Pau. The Star secara mayoritas dimiliki oleh Malaysian Chinese Association (Persatuan Cina Malaysia), partai kedua terbesar di aliansi Barisan Nasional. New Straits Times merupakan bagian dari grup perusahaan Media Prima yang dimiliki oleh partai politik dominan, UMNO. Sementara itu, Utusan Malaysia dianggap memiliki kredibilitas yang rendah karena praktik standar ganda dalam pelaporan, khususnya berkenaan dengan berita politik.[26] Pernyataan-pernyataan oleh para Chief Minister di negara-negara bagian yang dipimpin oposisi seringkali dilaporkan keluar dari konteks, dimanipulasi, atau difabrikasi.[27]
Regulasi kebebasan pers di Malaysia menjadi sasaran kritik karena pemerintah dianggap menyebarkan ancaman-ancaman reduksi peluang pekerjaan dan menolak anggota keluarga jurnalis di universitas publik. Legislasi seperti Printing Presses and Publications Act juga disebut membatasi kebebasan berekspresi. Pada 2007, agen pemerintah Malaysian Communications and Multimedia Commission mengeluarkan instruksi kepada seluruh stasiun televisi dan radio swasta untuk tak menyiarkan pidato-pidato yang dibuat oleh para pemimpin oposisi.[28] Tentu saja, gerakan ini dikutuk oleh para politisi dari oposisi, seperti oleh Democratic Action Party.[29] Instruksi tersebut kemudian ditarik kembali oleh Energy, Water and Communications Ministry. Media watchdog Reporters Without Borders menempatkan Malaysia pada posisi 124 dari 169 dalam indeks kebebasan pers internasional dan mengatakan bahwa media mainstream “sering dipaksa untuk mengabaikan atau menjatuhkan event- event yang diorganisasi oleh oposisi”.[30]

New Media dan Kampanye Oposisi di Cyberspace Malaysia
Dapat dilihat bahwa pemberitaan media mainstream di Malaysia cenderung bersifat partisan. Oleh karena itu, di Malaysia muncul berbagai media alternatif, seperti Malaysiakini.com, suatu jurnal berita online yang beroperasi sejak 1999 dan pernah mengalami penggerebekan polisi dan penyangkalan pas jalan media bagi para reporternya untuk meliput event-event pemerintahan. Compete.com menaksir bahwa Malaysiakini.com kini menarik 10.000 pengunjung unik pada Mei 2009 dan 119.431 pengunjung unik pada April 2010.[31] Alexa menempatkan Malaysiakini.com sebagai website paling populer ke-16 di Malaysia, lebih tinggi daripada website The Star thestar.com.my pada 2008,[32] dan hanya berada satu tingkat di bawah thestar.com.my pada 2010.[33] Penggunaan Internet sebagai sarana kampanye terhambat oleh tingkat penetrasi yang rendah di daerah-daerah pedesaan, di mana pemerintah memperoleh dukungan yang kuat. Namun, di daerah-daerah kota, penggunaan Internet signifikan, dan masyarakat kota kini memiliki akses alternatif terhadap berita dan pandangan berbeda.[34]
Karena partai-partai oposisi jarang memperoleh pemberitaan di media-media mainstream, mereka mulai berkampanye di cyberspace dengan sasaran para pemilih muda di daerah kota yang terdidik. Setelah Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi membubarkan parlemen pada Februari 2008, pemimpin oposisi Lim Kit Siang mengunggah pidato terkait pemilu di YouTube. Lim adalah salah satu politisi Malaysia yang paling terhubung dengan cyberspace. Lim memiliki tiga blog[35] yang di-update dengan cermat dengan banyak post tiap hari, dan banyak pemimpin partai lainnya yang mengikuti hal tersebut.[36]
Partai oposisi Malaysia PAS memiliki jurnal online sendiri, HarakahDaily.net, yang menampilkan enam saluran televisi online berbeda dan pelaporan original terkait pemilu Malaysia. HarakahDaily.net adalah website surat kabar Harakah yang diterbitkan oleh PAS. HarakahDaily.net menjadi alternatif yang baik sejak akhir 1990-an Perdana Menteri ke-4 Malaysia, Mahathir bin Mohamad, membatasi izin terbit surat kabar Harakah, dari publikasi dua kali seminggu menjadi dua kali sebulan.
Mantan Perdana Menteri Malaysia dan pemimpin de facto PKR, Anwar Ibrahim, memiliki blog[37] sendiri yang memiliki link-link berita dan video aktivitas kampanye partainya, PKR. Pada 2007, Anwar merilis suatu klip video yang diduga menunjukkan seorang pengacara tingkat tinggi memperdagangkan penunjukan yudisial tinggi, suatu skandal yang memicu dibentuknya suatu komisi penyelidikan penuh.

Cybercampaign Oposisi dalam Pemilu Malaysia 2008
Kampanye oposisi di cyberspace Malaysia ini berlanjut dalam kampanye dan strategi pemenangan Pemilu Malaysia 2008. Hal ini tak terlalu tampak pada kampanye BN. Partai-partai oposisi utama Malaysia, terdiri atas PKR, DAP, dan PAS, serta PSM dan PASOK bergabung di bawah slogan Barisan Rakyat dan melakukan kampanye di berbagai cyberspace dan media baru, menggunakan berbagai teknologi baru seperti blog, SMS, dan YouTube. Ibrahim Suffian dari Merdeka Centre for Opinion Research di Kuala Lumpur menyebutkan bahwa oposisi lebih siap dan berhati-hati dalam pendekatannya menggunakan Internet dan teknologi lainnya dalam strategi komunikasi mereka daripada partai-partai pemerintah. Aplikasi teknologi informasi dalam pemilu antara lain:[38]
SMS: digunakan secara maksimal oleh para juru kampanye oposisi. Beberapa unsur dalam oposisi telah mengembangkan kapasitas untuk mengirim SMS kepada para individu yang tinggal di lokasi-lokasi khusus, dan memiliki kemampuan untuk membanjiri para pemilih di suatu lokasi khusus dengan berbagai pesan SMS. SMS digunakan untuk memberitahukan para pemilih tentang event-event terdekat dan mengirim pesan teaser untuk mengajak mereka mengunjungi website tertentu. Pada malam sebelum hari pemilu, puluhan ribu pemilih dikirimkan rekaman pesan audio oleh Anwar Ibrahim yang mengajak mereka memilih untuk perubahan.
Website Kandidat: berbagai website kampanye muncul sebagai dukungan terhadap para kandidat, kebanyakan dibuat oleh para kandidat oposisi. Website-website tersebut memberikan informasi tentang para kandidat dan melaporkan berbagai peristiwa, beberapa juga mengumpulkan donasi. Beberapa keberhasilan website kandidat antara lain gerakan donasi online oleh kandidat Jeff Ooi dari DAP, yang mengumpulkan puluhan ribu dolar secara online dan Badrul Hisham dari PKR yang mengumpulkan lebih dari RM 30.000 ($ 9.050,-) dalam sepekan.
Portal Media Partai: situs-situs partai seperti HarakahDaily.net dan Suara-Keadilan.com menjadi portal yang menyediakan materi untuk penggandaan dan transmisi berikutnya di antara publik. PAS mengembangkan suatu laporan newsletter berkala yang memberikan pernyataan-pernyataan dan reportase isu-isu dan event-event kampanye, yang didistribusikan secara luas selama kampanye oleh para aktivis partai.
Website Pendukung: sebagai tambahan terhadap website partai, berbagai homepage yang dioperasikan oleh para aktivis dan pendukung partai juga memberikan informasi tambahan dan materi serta selebaran yang dapat diunduh dan didistribusikan.
YouTube dan Situs-situs Video Lainnya: karena oposisi dilarang akses terhadap jaringan televisi mainstream, mereka bergantung pada situs-situs video-sharing seperti YouTube untuk memperlihatkan event-event dan pidato mereka. Sejumlah besar materi yang diberikan oleh para pengguna YouTube dapat ditemukan di YouTube. Salah satu klip video paling populer menampilkan Perdana Menteri Malaysia tertidur di berbagai event publik.
Distribusi Video Compact Disc (VCD): sebagai adaptasi dari selebaran, dalam Pemilu Malaysia 2008 terdapat penggunaan luas VCD sebagai bentuk selebaran digital oleh para juru kampanye dari kedua belah pihak. VCD tersebut digunakan untuk memberikan berbagai bentuk pesan, dari pengenalan khas para kandidat lokal hingga transmisi materi rahasia yang dapat mencemarkan nama kandidat atau partai tertentu. Selama kampanye, para aktivis yang mungkin terhubung dengan BN menerbitkan kembali video lama terkait skandal seksual Anwar Ibrahim, namun pengaruh hal tersebut tak terlalu berarti karena proses legal telah membebaskan Anwar pada 2004.[39] Sebaliknya, VCD yang dibuat oleh kelompok kepentingan HINDRAF (Barisan Bertindak Hak-hak Hindu) yang menunjukkan penghancuran berbagai candi Hindu dan rumah warga Malaysia keturunan India oleh para otoritas lokal Malaysia[40] terbukti sangat penting dalam memengaruhi para pemilih.
Oposisi juga mengumpulkan dana melalui cyberspace dengan memohon kepada publik melalui website dan blog untuk para pendukung agar menyumbang dana melalui kartu kredit dan transfer bank untuk membantu juru kampanye mencetak poster-poster kampanye dan menggelar berbagai forum publik. Oposisi berulang-kali mengungkapkan bahwa mereka tak mampu mengimbangi kekuatan pengeluaran yang massif dari koalisi BN.[41]
Hasil Pemilu Malaysia 2008 adalah kemenangan BN sebesar 50,27% suara dengan 140 kursi (63,1%) dalam Dewan Rakyat Malaysia (jumlah kursi turun sebanyak 58). Barisan Rakyat memperoleh 46,75% suara dengan jumlah kursi naik sebanyak 62 kursi menjadi 82 kursi (36,9%).[42] Jumlah perolehan kursi di tiap-tiap negara bagian adalah sebagai berikut.

Negara Bagian Barisan Nasional Oposisi
Suara (Persen) Kursi (Persen) Suara (Persen) Kursi (Persen)
Perlis 61,5% 14 (93,33%) 36,83% 1 (6,67%)
Kedah* 47,40% 14 (38,89%) 50,40% 21 (58,33%)
Kelantan* 45,12% 6 (13,33%) 56,36% 39 (86,67%)
Terengganu NA 24 (75,00%) NA 8 (25,00%)
Penang* NA 11 (27,50%) NA 29 (72,50%)
Perak* NA 28 (47,46%) NA 31 (52,54%)
Pahang NA 37 (88,10%) NA 4 (9,52%)
Selangor* NA 20 (35,71%) NA 36 (64,29%)
Negri Sembilan NA 21 (58,33%) NA 15 (41,67%)
Malaka NA 23 (82,14%) NA 5 (17,86%)
Johor NA 50 (89,29%) NA 6 (10,71%)
Sabah NA 59 (98,33%) NA 1 (1,67%)
Negara bagian dengan tanda * menunjukkan kemenangan oposisi.

Apabila diteliti dengan baik, negara-negara bagian di mana oposisi menang adalah negara-negara bagian yang maju dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi serta jangkauan Internet yang baik. Di Penang, terdapat Telekom Malaysia Berhad sebagai provider layanan telepon darat juga provider layanan Internet utama, serta terdapat jangkauan seluler yang unggul. Selangor adalah negara bagian paling maju di Malaysia dan menerima keuntungan mutlak dari efek spillover pembangunan ibu kota, Kuala Lumpur. Pun Kuala Lumpur, sebagai ibu kota Malaysia, memiliki tingkat pemilih muda dengan penggunaan teknologi paling cerdas dan modern.
Ibrahim Suffian kemudian mengkaji pengaruh teknologi informasi dalam Pemilu Malaysia 2008. Ia mengutip survei pasca-pemilu oleh Merdeka Centre bahwa sementara 90% warga Malaysia memperoleh informasi pemilu melalui media mainstream, namun dua pertiga warga juga memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi sekunder dan alternatif seperti Internet, selebaran, dan pertemuan aktivis. Bentuk komunikasi ini mencapai pengaruh yang menentukan dalam hasil pemilu. Ibrahim mengungkapkan bahwa media mainstream Malaysia terus menolak liberalisasi lebih lanjut, dan berbagai jaringan televisi dan radio tetap dimiliki oleh koalisi BN. Para pemilih telah bersikap sinis terhadap media mainstream dan para pemiliknya. Ibrahim kembali mengutip polling oleh Merdeka Centre pada Juli 2008 yang menemukan bahwa hanya 25% pemilih Malaysia yang mempercayai peliputan berita politik oleh media mainstream lokal, dan kurang dari 10% yang memiliki kepercayaan kuat terhadap media tersebut. Dengan investasi pada jaringan broadband dan perluasan akses Internet di luar daerah-daerah kota, Ibrahim memprediksi bahwa hal ini hanyalah awal dari peran teknologi informasi dan komunikasi yang semakin luas dalam diskursus sosial politik Malaysia.[43]
Namun, terdapat satu potensi hambatan terhadap cybercampaign oposisi ini, yaitu status Malaysia sebagai salah satu negara yang mengalami penyensoran Internet secara nominal. Pada 2006, Deputi Science and Technology Minister Kong Cho Ha mengumumkan bahwa seluruh blog berita Malaysia harus didaftarkan dengan Ministry of Information. Kong menjustifikasi hal ini dengan menyatakan bahwa hukum tersebut penting untuk mencegah para blogger menimbulkan kekacauan dalam masyarakat multietnik Malaysia.[44]

KESIMPULAN

Kesimpulan
Oposisi Malaysia berhasil membangun interaksi informasi dan kolaborasi dengan para pemilih dalam kampanye Pemilu Malaysia 2008 berbagai aplikasi Web 2.0. Hal ini mengonfirmasi kekuatan komunikasi, di mana Web 2.0 sebagai jaringan komunikasi berperan fundamental dalam proses pembuatan power oposisi. Penggunaan Web 2.0 ini adalah bentuk e-democracy yang lahir bukan dari defisit deliberatif demokrasi, namun lebih parah lagi adalah krisis komunikasi publik yang berasal dari opresi dari sistem politik yang tak demokratis yang membuat oposisi tak memiliki kebebasan berekspresi dalam media mainstream, sehingga penggunaan Web 2.0 merupakan suatu alternatif esensial yang wajib dilakukan oposisi untuk mempertahankan kelangsungannya. Cybercampaign oposisi melalui Web 2.0 di Malaysia menyediakan tempat bagi diskusi politik yang tak dapat terjadi dalam media mainstream. Cybercampaign ini dilakukan melalui SMS, website kandidat, portal media partai, website pendukung, situs-situs video seperti YouTube, dan distribusi VCD, serta penggalangan dana online melalui website dan blog.
Cybercampaign oposisi ini berhasil meningkatkan popularitas para kandidat oposisi di antara para pemilih muda. Hal ini juga diperkuat dengan terbatasnya penggunaan Internet oleh BN, yang tak memiliki organisasi seperti dalam kampanye oposisi, juga tak mengeluarkan uang pada porsi kampanye ini, sehingga memberi oposisi keunggulan signifikan atas BN. Dapat dilihat bahwa oposisi pun akhirnya menang dari BN di negara-negara bagian yang maju dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi serta jangkauan Internet yang baik. Namun, kekuatan politik oposisi yang berasal dari penggunaan Web 2.0 tak cukup signifikan dalam membawa mereka memenangkan Pemilu Malaysia 2008. Hal ini terkait kekuatan BN yang memerintah yang telah memiliki sistem operasi power yang stabil dan memiliki fungsi-fungsi koordinasi dan regulasi yang dibutuhkan untuk reproduksi hubungan power. Hal ini juga disebabkan kurangnya kesiapan dan kemampuan mengeluarkan efek deliberatif Web 2.0 di Malaysia. Kurangnya kesiapan ini disebabkan hal ini merupakan sesuatu yang sangat baru di Malaysia, di mana Malaysia baru mulai berinvestasi dalam jaringan broadband dan memperluas akses Internet, sehingga peran teknologi informasi dan komunikasi dalam diskursus sosial politik Malaysia baru saja dimulai.
Penulis memprediksi bahwa di masa depan, bentuk komunikasi sekunder dan alternatif melalui Internet akan memiliki pengaruh yang lebih desisif dalam hasil Pemilu Malaysia. Hal ini terkait efek deliberatif yang telah dibawa teknologi informasi dan komunikasi modern kepada para pemilih Malaysia, yang telah skeptis terhadap media mainstream. Hal ini dengan catatan, penyensoran Internet di Malaysia tak menghambat gerakan para blogger politik dan juru kampanye dalam cyberspace Malaysia. Apabila ini terjadi, seperti kasus Rusia, takkan ada mekanisme translasi informasi menjadi kekuatan politik di Malaysia.

Implikasi Teoritis
Cybercampaign oposisi dalam Pemilu Malaysia 2008 mengonfirmasi argumen-argumen sentral Castells bahwa jaringan-jaringan komunikasi adalah jaringan fundamental pembuatan power dalam masyarakat. Hal ini tampak dari bagaimana blog, SMS, dan website oposisi dapat menjadi kekuatan politik oposisi dalam pemilu. Kekalahan oposisi, walaupun telah memberikan pukulan signifikan terhadap BN melalui peningkatan perolehan suara dan kursi, juga mengonfirmasi argumen Castells tentang peran fundamental negara dalam keseluruhan jaringan power. BN sebagai pemerintah yang berkuasa memiliki fungsi-fungsi koordinasi dan regulasi yang dibutuhkan untuk menstabilkan operasi sistem politik dan mereproduksi hubungan power di Malaysia, serta memiliki monopoli kekerasan sebagai kapasitas untuk memaksakan power sebagai usaha terakhir, seperti usaha melakukan penyensoran Internet untuk membendung cybercampaign oposisi.

[1] Cybercampaign yang dimaksud adalah kampanye politik yang dilakukan melalui internet, bukan, bukan cyberattack (serangan Internet) terkoordinasi sebagai bagian konflik sosial sebagaimana didefinisikan Sandor Vegh (2003) dalam “Classifying forms of online activism”, Cyberactivism, ed. Martha McCaughey dan Michael D. Ayers (New York: Routledge), hlm. 71–95.

[2] Gagah Wijoseno, “Kubu PM Abdullah Badawi Menangkan Pemilu Malaysia”, detikNews 9 Maret 2008, diakses dari http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/09/time/040041/idnews/905410/idkanal/10, pada 27 April 2010, 22:41.

[3] “Nurul Izzah Menangi Pemilu Malaysia”, Tempointeraktif.Com 8 Maret 2008, diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2008/03/08/brk,20080308-118838,id.html, pada 27 April 2010, 22:44.

[4] “Malaysia’s opposition mounts campaign in cyberspace”, AFP 19 Februari 2008, diakses dari http://afp.google.com/article/ALeqM5jTnVxg61uaHTAYJ_3bMeLt-X_jzQ, pada 27 April 2010, 23:01.

[5] Prashant Sharma, “Core Characteristics of Web 2.0 Services”, diakses dari http://www.techpluto.com/web-20-services/, pada 1 Juni 2010, 13:52.

[6] Lihat Tim O’Reilly, “What Is Web 2.0: Design Patterns and Business Models for the Next Generation of Software”, O’Reilly Media 30 September 2005, diakses dari http://oreilly.com/web2/archive/what-is-web-20.html dan Paul Graham, “Web 2.0”, dari http://www.paulgraham.com/web20.html.

[7] Manuel Castells (2009), Communication Power (Oxford: Oxford University Press).

[8] Stephen Coleman dan Jay G. Bumler (2009), The Internet and Democratic Citizenship: Theory, Practice and Policy (Cambridge: Cambridge University Press), hlm.14-41.

[9] Lihat “Campaign Creator” pada http://www.campaigncreator.org/holding_page/

[10] Angelika Füting dan Marco Bräuer, Presentasi “Electronic Democracy and its Citizens”, Ilmenau University of Technology, Institute for Media and Communication Science.

[11] Ibid.

[12] Kostas Zafiropoulos dan Vasiliki Vrana, “An exploration of Political Blogging in Greece”, paper yang dipresentasikan pada Web 2.0: An International Conference, University of London (17-18 April 2008).

[13] Nicolas Desquinabo, “Webforum design and debate practices during the 2007 French presidential campaign”, Politics: Web 2.0: An International Conference, University of London (17-18 April 2008).

[14] Zachary P. Devereaux, “Torytube.ca and the Ontario 2007 Election: The Web 2.0 Politics of Embedded Political Video”, paper yang dipersiapkan untuk konferensi Politics: Web 2.0: An International Conference, London, Inggris (17-18 April 2008).

[15] J. Gaines dan Jeffery J. Mondak (2008), “Typing Together? Clustering of Ideological Types in Online Social Networks”, paper yang dipersiapkan untuk konferensi Politics: Web 2.0, London, Inggris (9 April 2008).

[16] Dylan Kissane, “Chasing the Youth Vote: Kevin07, Web 2.0 and the 2007 Australian Federal Election”, paper yang dipersiapkan untuk konferensi Politics: Web 2.0: An International Conference, London, Inggris (17-18 April 2008).

[17] Dr Darren G. Lilleker dan Nigel Jackson (2008), “Politicians and Web 2.0: the current bandwagon or changing the mindset?” Web 2.0: an International Conference.

[18] Sarah Oates, “Comrades Online?: How the Russian Case Challenges the Democratising Potential of the Internet”, paper yang dipersiapkan untuk konferensi Politics: Web 2.0: An International Conference, University of London (17-18 April 2008).

[19] Jose Antonio Vargas, “Young Voters Find Voice on Facebook”, Washington Post 17 Februari 2008, diakses dari http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/02/16/AR2007021602084.html, pada 28 April 2010, 9:49.

[20] “SIPP index”, diakses dari http://www.spartaninternet.com/2008, pada 28 April 2010, 9:50.

[21] Video Yes We Can memperoleh jumlah akses sekitar satu juta kali di YouTube pada hari pertama rilis, lihat Neil McCormick, “Barack Obama’s ‘Yes We Can’ video” The Daily Telegraph (London), 14 Februari 2008, diakses dari http://www.telegraph.co.uk/arts/main.jhtml?xml=/arts/2008/02/16/bmobama116.xml&DCMP=ILC-traffdrv07053100, pada 28 April 2010, 9:55.

[22] Video A More Perfect Union memperoleh jumlah akses sekitar 1,3 juta kali di YouTube pada hari pertama rilis, lihat Alex Chadwick dan Alex Cohen, “The Viral Obama Web Cycle”, Day to Day (NPR) 19 Maret 2008, diakses dari http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=88584840, pada 28 April 2010, 9:58.

[23] Sarah Lai Stirland, “Obama’s Secret Weapons: Internet, Databases and Psychology”, Threat Level, Wired.com 29 Oktober 2008, diakses dari http://www.wired.com/threatlevel/2008/10/obamas-secret-w/, pada 1 Juni 2010, 21:01.

[24] M. Xenos dan W. Lance Bennett, “The Disconnection in Online Politics: The Youth Political Sphere and US Election Sites, 2002-2004”, Information, Communication, and Society 10 (2007): 443-64; dan Josh Pasek, Daniel Romer, dan Kathleen Hall Jamieson, “America’s Youth and Community Engagement: How Use of Mass Media Is Related to Civic Activity and Political Awareness in 14-to-22-Year-Olds”, Communication Research 33 (2006): 115-35.

[25] Stirland, op. cit.

[26] http://klpos.com

[27] Lihat “Penang CM slams PM, denies stoking racial tension”, YouTube, diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=KYUlAIvjs7o, pada 2 Juni 2010, 10:52, d imana Chief Minister Penang, Lim Guan Eng, mengklarifikasi hal tersebut.

[28] “Opposition muzzled – here’s black and white proof”, Malaysiakini 29 Juni 2007, diakses dari http://www.malaysiakini.com/news/69331, pada 2 Juni 2010, 10:00.

[29] G. Vikneswary, “TV station denies censoring opposition news”, Malaysiakini 28 Juni 2007, diakses dari http://www.malaysiakini.com/news/69226, pada 2 Juni 2010, 10:03.

[30] “Malaysia’s opposition mounts campaign in cyberspace”, AFP, op. cit.

[31] “170,000 visitors in 2008”, diakses dari http://siteanalytics.compete.com/malaysiakini.com/?metric=uv, pada 2 Juni 2010, 11:04.

[32] “Malaysiakini overtakes Star online rankings”, diakses dari http://www.alexa.com/site/ds/top_sites?cc=MY&ts_mode=country&lang=none, pada 2 Juni 2010, 11:12.

[33] “Top Sites in Malaysia”, diakses dari http://www.alexa.com/topsites/countries/MY, pada 2 Juni 2010, 11:14.

[34] “Malaysia’s opposition mounts campaign in cyberspace”, AFP, op. cit.

[35] Blog Lim antara lain blog.limkitsiang.com, limkitsiang.com, dan limkitsiang.blogspot.com.

[36] “Malaysia’s opposition mounts campaign in cyberspace”, AFP, op. cit.

[37] Blog Anwar antara lain anwaribrahimblog.com dan anwaribrahim.com.

[38] Mr. Ibrahim Suffian, “Reflections of the 2008 Malaysian General Election: Role of the Internet in Political Communications”, Merdeka Centre for Opinion Research, Kuala Lumpur, diakses dari www2.lse.ac.uk/IDEAS/publications/reports/pdf/SR005/Msia_Suffian.pdf, pada 2 Juni 2010, 12:23.

[39] Lihat skandal seksual Anwar pada Mark Colvin, “Anwar Ibrahim freed after sodomy sentence overturned”, abc.net.au 2 September 2004, http://www.abc.net.au/cgi-bin/common/printfriendly.pl?http://www.abc.net.au/pm/content/2004/s1190999.htm.

[40] Dalam kampanye HINDRAF pada 16 Februari 2008, di mana HINDRAF memberikan mawar sebagai simbol cinta dan kasih sayang, dalam usaha menghadirkan unsur humanis dalam kampanyenya, kepada Perdana Menteri Malaysia di parlemen, polisi menembakkan gas air mata dan water cannon kepada ratusan etnis India di pusat Kuala Lumpur. Lebih dari 200 orang ditahan oleh otoritas setelah diserang oleh polisi di dekat situs candi India. Lihat “Hindraf’s ‘roses campaign’ thwarted”, The Hindu 17 Februari 2008, http://www.thehindu.com/2008/02/17/stories/2008021750180100.htm; dan “Malaysia: Police Break Up Ethnic Indian Rally, Detain More Than 120 People”, My Sinchew, http://www.mysinchew.com/node/7133?tid=4.

[41] Eileen Ng, “Malaysia’s government rejects call for American-style political debate ahead of election”, Associated Press (Yahoo! News) 2 Maret 2008, diakses dari http://malaysia.news.yahoo.com/ap/20080302/tap-as-gen-malaysia-election-b3c65ae.html, pada 2 Juni 2010, 14:56.

[42] “3 Sin Chew Jit Poh nationwide results statistics”, Sin Chew Jit Poh 10 Maret 2008, diakses dari http://www.sinchew-i.com/special/election2008/result.phtml, pada 2 Juni 2010, 14:00.

[43] Suffian, op. cit.

[44] Peter Walker, “Malaysia’s mission unbloggable”, The Guardian, London, 5 Desember 2006, diakses dari http://www.guardian.co.uk/news/blog/2006/dec/05/malaysiablog, pada 2 Juni 2010, 12:21.