Satinah, les Misérables

Les Misérables

[SPOILER ALERT bagi yang belum menonton film Les Misérables, menonton teatrikalnya, maupun membaca novelnya]

 

Desember 2012 lalu, saya beserta beberapa rekan menonton film Les Misérables di layar lebar. Bagi yang belum tahu, film musikal keren ini mengambil latar belakang Prancis pada abad ke-19. Ceritanya berawal pada 1815, tahun kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo, Belgia, setelah menyebarkan Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 ke negara-negara Eropa lainnya. Mengambil setting tersebut, Les Misérables memotret kisah Jean Valjean, narapidana yang dihukum 19 tahun karena mencuri sepotong roti untuk keponakannya yang kelaparan dan beberapa kali berusaha kabur. Setelah dibebaskan bersyarat pun, Valjean kesulitan memperoleh pekerjaan dan diusir dari beberapa kota karena statusnya tersebut. Ia kemudian memperoleh makanan dan tempat tinggal dari Uskup Digne, namun Valjean mencuri barang-barang perak Uskup tersebut pada malam harinya. Ketika Valjean ditangkap oleh pihak berwenang, sang Uskup bersaksi bahwa ia memang menghadiahkan barang-barang perak tersebut kepada Valjean, sehingga Valjean pun dibebaskan. Berbincang empat mata, sang Uskup menasihati Valjean agar melakukan hal yang bermanfaat di sisa hidupnya. Tergerak oleh kasih dari sang Uskup, Valjean melanggar status bebas bersyaratnya dan bersumpah akan memulai hidup baru dengan identitas baru.

Delapan tahun setelahnya, dikisahkan bahwa Valjean telah menjadi seorang pemilik pabrik dan mayor dari sub-prefektur Montreuil, departemen Pas-de-Calais di Prancis utara. Namun malang melintang tak dapat ditolak, kepala penjara bernama Javert, yang dahulu menjaga Valjean sebagai tahanan, telah ditempatkan sebagai kepala polisi di wilayah tersebut. Setelah identitas Valjean terbongkar, Javert berusaha menangkapnya kembali, sementara Valjean kabur ke suatu biara. Di sana, Valjean membesarkan seorang putri di luar nikah dari seorang mantan buruh di pabrik Valjean.

Kejar-mengejar antara Valjean dan Javert menjadi tema utama dalam film Les Misérables ini, hingga setting film berlanjut ke Pemberontakan Juni di Paris 1832. Valjean berada di pihak kelompok revolusioner “Friends of the ABC” setelah menyelamatkan salah seorang punggawa gerakan tersebut. Javert tertangkap ketika menyusup ke barikade kelompok tersebut, dan Valjean diberi peluang untuk mengeksekusi mati Javert. Diserahi nyawa kepala polisi yang selama belasan tahun mengejar-ngejarnya dan berambisi mengembalikannya ke hukuman, Valjean justru membebaskan Javert ketika tidak ada orang lain yang melihat. Javert kabur dengan kebingungan atas belas kasihan dari seorang kriminal yang selama ini ia anggap rendah.

Di kesempatan berikutnya, Javert yang mendapat peluang mengeksekusi mati Valjean. Valjean sedang memikul seorang aktivis Friends of the ABC yang terluka dan membawanya mencari dokter ketika Javert mengonfrontasinya. Valjean memohon waktu agar dapat membawa sang aktivis ke dokter, namun Javert mengancam akan menembaknya jika ia tidak menyerah. Valjean mengabaikannya dan pergi memikul sang aktivis. Mungkin Javert tertegun karena sebelumnya Valjean telah mengampuni nyawanya, yang pasti ia urung menembak Valjean. Kemudian, mungkin juga karena bingung atas konflik antara tugasnya sebagai polisi dan kode-kode moralnya, Javert bunuh diri dengan melompat ke Sungai Seine.

Dari film Les Misérables, serta novel dan teatrikal yang mendahuluinya, Valjean telah menjadi simbol sifat-sifat terbaik kemanusiaan. Ia menduduki sisi yang salah di mata hukum, namun sisi yang benar di mata virtu dan etika manusia. Sebaliknya, Javert menjadi antitesis Valjean: pria yang memperoleh kehormatan di masyarakat, namun memperoleh kehinaan ketika menyadari bahwa hukum seringkali bersifat tidak adil.

 

Satinah

 

Lima belas bulan setelah saya menonton film Les Misérables, muncullah isu Satinah. Satinah binti Jumadi, TKI asal Kabupaten Semarang yang bekerja di Arab Saudi, didakwa membunuh majikan dan mengambil hartanya. Terdapat rencana eksekusi hukuman mati terhadap Satinah pada 3 April 2014, yang hanya bisa terhindar apabila Satinah mampu membayarkan diyat atau uang darah pengganti hukuman mati setara Rp21 miliar. Diplomasi Satgas TKI dan Presiden telah berhasil membuat Arab Saudi menunda hukuman mati tersebut, tetapi bukan membatalkannya. Negara tidak akan membantu dana diyat untuk Satinah, sebagaimana dinyatakan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya, dahulu pernah ada kejadian serupa menimpa TKI lain bernama Darsem, yang juga terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Keluarga Darsem berhasil mengumpulkan uang melebihi diyat yang diminta, yakni Rp4,7 miliar, dari masyarakat, namun dana diyat itu lalu digunakannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk menepati janjinya membantu sesama TKI yang bermasalah.

Dihadapkan dengan isu Satinah ini, reaksi masyarakat cukup beragam. LSM Migrant Care dan dutanya Melanie Subono berusaha menggalang dana diyat untuk menebus Satinah dari masyarakat, dan sebagian masyarakat telah membantu hingga jumlah dana diyat nyaris tercapai. Di lain pihak, tidak sedikit pihak yang menentang usaha membantu penebusan diyat Satinah. Ada yang tidak ingin kasus Darsem terulang, ada yang menganggap Rp21 miliar adalah nilai yang tidak masuk akal untuk menyelamatkan satu orang saja, ada yang menganggap wajar jika orang yang terbukti melakukan tindak kriminal menerima hukuman, dan ada yang sekedar menertawakan mereka yang berusaha menebus Satinah karena menganggap mereka “goblok” karena “gampang dibuta[kan] [oleh] simpati cerita[-cerita] [t]angis[an] siang bolong”. (Kutipan langsung setelah melalui penyuntingan tata bahasa.)

Saya tidak habis paham sama pihak yang terakhir ini. Negara sudah menyatakan tidak akan membantu diyat Satinah, jadi bukankah mereka yang tidak menentang penebusan diyat Satinah bisa tenang karena uang pajak yang mereka bayar kepada negara tidak dipakai untuk tujuan tersebut, dan mereka tidak dirugikan apa-apa? Tidak dapatkah mereka diam saja menahan komentar-komentar yang hanya memanaskan telinga, dan duduk saja memperhatikan pihak-pihak yang benar-benar peduli terhadap Satinah? Saya pikir, apatisme yang disertai serangan terhadap pihak yang simpati itu benar-benar tidak beralasan. Terlebih, ketika pihak yang apatis ini tidak punya kepentingan yang dipertaruhkan; mereka hanya butuh objek untuk ditertawakan, untuk memuaskan perasaan superioritas semu.

Jika diyatnya ditebus, mungkinkah Satinah menjadi Darsem kedua? Mungkinkah dia menjadi warga yang lebih tidak bertanggung jawab daripada sebelumnya? Mungkinkah Satinah ternyata memang melakukan pencurian dan pembunuhan terencana, dan bukan tindak bela diri terhadap siksaan dan penganiayaan oleh majikannya? Bisa jadi.

Sebaliknya, mungkinkah Satinah sebenarnya adalah jelmaan Jean Valjean? Yang dihukum karena mencuri sepotong roti untuk keponakannya yang kelaparan? Yang kemudian bertobat menjadi manusia yang bermartabat dan terhormat? Yang membantu sesama manusia yang bermasalah dan membutuhkan? Bisa jadi.

Peluang kedua hal ini 50:50. Apakah Satinah menjadi Darsem kedua, ataupun Satinah menjadi jelmaan Valjean, sejak titik ini menjadi kuasa Tuhan. (Atau kuasa hubungan sebab-akibat, jika Anda tidak percaya Tuhan.) Bukan domain kita sebagai manusia. Apa yang terjadi pada Satinah setelah ditebus diyatnya dan diselamatkan nyawanya (jika saja penggalangan dana diyat berhasil mencapai jumlah yang dibutuhkan) bukanlah urusan kita.

Sementara itu, saran saya kepada pihak-pihak yang apatis lagi menertawakan: berdoalah agar jika suatu saat kalian berkunjung keluar negeri, kalian tidak akan tanpa sengaja melanggar hukum negara tersebut, kemudian pemerintah negara kita tutup mata terhadap masalah kalian sementara masyarakat di tanah air menertawakan kalian. Atau dengan analogi Les Misérables: berdoalah agar tidak menjadi jelmaan Javert.

 

Leave a comment